Sejarah Kompilasi Hukum Islam (KHI)


 

Masyarakat Umumnya banyak yang belum mengerti dan faham terhadap arti Kompilasi Hukum Islam. Secara culture, masyarakat hanya mengetahui bahwa yang hukum Islam berkembang dan dibawa oleh para ulama ialah hukum Islam, yang berlandaskan pada Al-Qur’an, Al-hadist dan kitab-kitab kuning yang dikarang oleh para ulama. Singkatnya, masyarakat tidak mengetahui apa itu Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam ini bisa dikatakan sebuah modifikasi hukum yang baru sesuai Instruksi Presiden (Inpres) RI No 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Istilah kompilasi berasal dari perkatan Compilare yang memiliki makna mengumpulkan bersama-sama, seperti halnya mengumpulkan berbagai peraturan yang berada diberbagai tempat. Istilah tersebut pun dikembangkan dalam bahasa Inggris “Compilation” dan dalam bahasa Belanda “Compilatie”, yang selanjutnya digunakan di Indonesia menjadi “Kompilasi”[1] yang memiliki arti kumpulan yang tersusun secara teratur. Menurut M. Thahir Azhari “kompilasi diartikan sebagai himpunan materi hukum dalam satu buku”.[2] Sedangkan menurut A. Hamid S. Attamimi mengartikan kata kompilasi sebagai “suatu hasil karya orang lain berbentuk tertulis dan tersusun secara teratur”.[3] Dengan kata lain, kompilasi secara harfiah dapat diartikan kumpulan-kumpulan atau himpunan dari berbagai sumber menjadi satu.

Secara istilah, Kompilasi Hukum Islam menurut M. Tahir Azhari adalah suatu himpunan bahan-bahan hukum Islam dalam suatu buku atau lebih tepat dengan himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun secara sistematis selengkap mungkin yang berpedoman kepada rumusan kalimat atau pasal-pasal yang lazim digunakan dalam bahasa perundang-undangan.[4] Sedangkan ulama Indonesia sepakat, bahwa Kompilasi Hukum Islam ialah rumusan tertulis Hukum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan kehidupan masyarakat Indonesia.[5] Tahir Azhari lebih berfokus terhadap prosedur, tata cara, dan format penyusunan. Sedangkan ulama melihat dari sisi isi dan substansi. Jika ditinjau dari sisi aktivitas, Kompilasi Hukum Islam dapat dikatakan sebagai kegiatan mengumpulkan bahan peraturan atau tulisan hukum Islam terkait beberapa permasalahan, yang dijadikan pedoman dalam menyelesaikan persoalan di lingkungan Peradilan Agama di Indonesia. Sedangkan dari sisi produk hukum, Kompilasi Hukum Islam merupakan himpunan ketentuan hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara sistematis.[6]

Berbagai pengertian diatas, penulis menyimpulkan bahwa Kompilasi Hukum Islam ialah suatu perkumpulan bahan atau kaidah hukum Islam yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia, yang disusun secara sistematis dan menggunakan bahasa yang lazim dalam perundang-undangan.

Lahirnya Kompilasin Hukum Islam berawal dari gagasan pemikiran salah seorang Menteri Agama Indonesia di era presiden Soeharto pada kabinet Pembangunan, yang bernama Munawir Sjadzali. Beliau menggagas pemikiran yang populer disebut dengan istilah Rektualisasi Ajaran Islam yang mengusung harusnya ada pembaharuan dalam hukum Islam di Indonesia. Pemicu lahirnya pemikiran beliau ialah perbedaan putusan hakim di Pengadilan Agama terkait bunga bank yang masuk dalam kategori riba dan perihal waris. Munawir Sadzali menganggap bahwa perbedaan seperti ini merupakan seuah keanehan yang sudah lama ada di Indonesia bahkan sebelum penjajahan Belanda.[7] Ternyata hal ini disebabkan karena para hakim Pengadilan Agama belum memiliki buku pedoman yang seragam di Indonesia, seperti halnya para hakim di Peradilan Umum yang memiliki buku pedoman seragam seperti KUHP. Inilah yang menjadi awal gagasan pemikiran dari Munawir Sadzili untuk menyusun suatu aturan hukum Islam yang seragam dan menjadi pedoman bagi para hakim yang memutuskan perkara di Pengadilan Agama. Pada bulan Maret 1985 ditandatanganilah Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tentang Pementukan Proyek Kompilasi Hukum Islam yang diketuai oleh Bustanul Arifin. Keputusan ini berisi terkait penyusunan rancangan tiga buku hukum Islam yang menjadi pegangan para hakim agama dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama. Buku pertama tentang Perkawinan, buku dua tentang Waris dan buku tiga tentang wakaf.

Saeful Milah dan Asep Saefudin Jahar mengutip dari buku Prof. KH. Ibrohim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, terdapat penjelasan lain terkait penggagas awal Kompilasi Hukum Islam. Disebutkan bahwa penggagasnya ialah Ibrahim Hosen, beliau mengatakan bahwa  fikih itu dianggap perlu adanya campur tangan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan hal kemasyarakatan, seperti nikah, talak, ruju, dan waris. Agar tercapainya keseragaman dan kesatuan Ukhuwah Islamiyah terpelihara dengan baik. Sesuai dengan kaidah:

حكم الحكم إلزام و يرفع الخلاف

“Keputusan Hakim/Pemerintah mengikat dan wajib diikuti dan menyelesaikan masalah”

Kemudian gagasan tersebut disampaikan kepada Bustanul Arifin, yang saat itu sebagai Hakim Agung dan Ketua Mahkamah Agung, yang selanjutnya disahkan keputusan Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait proyek penyusunan Kompilasi Hukum Islam.[8]

Sumber lain menyebutkan bahwa pencetus gagasan Kompilasi Hukum Islam ialah Bustanul Arifin sebagai orang yang telah lama berpengalaman dibidang teknis Yudisial Peradilan Agama dan pandangannya terhadap fikih di Indonesia. Demi kepastian hukum dan keseragaman perilaku di kalangan masyarakat diharuskan adanya gerakan baru berupa sebuah hukum yang menghimpun semua hukum Islam yang berlaku di Pengadilan Agama yang dijadikan pedoman semua para hakim agama dalam memutuskan perkara.[9]

Uraian diatas menjelaskan adanya perbedaan terkait pencetus pertama atas gagasan penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Namun terlepas dari itu semua, yang sudah pasti ialah bahwa penyusunan Kompilasi Hukum Islam dianggap perlu sebagai proses transformasi hukum Islam dari bentuk yang tidak tertulis menjadi sebuah perundang-undangan,[10] sebagai bentuk persatuan dan kesatuan dari keseragaman hukum Islam yang berkembang luas di masyarakat.

Menurut Abdul Muin dan Ahmad Khotibul Umam, hukum Islam pada umumnya ialah hukum fikih hasil dari penafsiran pada awal abad kedua hijriah. Informasi hukum masih bersumber pada kitab-kitab fikih klasik. Kajian pada umumnya banyak dipusatkan pada masalah-masalah ibadat dan ahwal syakhsiyah, namun tidak banyak diarahkan pada mualamah. Hal ini membuat hukum Islam terlihat begitu kaku ketika dihadapi dengan persoalan fikih pada jaman sekarang. Berbagai sikap dalam persoalan ini telah dilontarkan dengan berbagai pendapat. Satu sisi hendak berpegang pada hasil ijtihad ulama terdahulu, sedangkan pada kubu lain merasa tidak cukup jika hanya berpegang pada pendapat ulama terdahulu saja, melainkan hendaknya diperbaharui dengan situasi dan kondisi masa kini. Untuk itu diperlukan ijtihad kembali.[11]

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan Menteri Agama pada 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam, proses penyusunan Kompilasi Hukum Islam dilaksanakan melalui Yurisprudensi yang dilaksanakan selama dua tahun dan didukung pula dengan keputusan Presiden No. 191/1985, yang mengeluarkan anggaran sebesar Rp.230.000.000,- pada 10 Desember 1985. Dimana anggaran ini tidak bersumber dari APBN, melainkan langsung oleh Presiden Soeharto. Dapat dilihat dari keterangan tersebut bahwa Presiden Soeharto sangat antusias dalam menyukseskan penyusunan Kompilasi Hukum Islam tersebut.[12] Proses penyusunan KHI ini tentunya dilakukan oleh banyak pihak yang turut andil dalam proses pelaksanaan penyusunan, berikut susunanya:

1)      Prof. H. Bustanul Arifin (Ketua Umum)

2)      H.R. Djoko Soegianto, SH (Wakil I)

3)      H. Zaini Dahlan, MA (Wakil II)

4)      H. Masrani Busran, SH (Pimpinan Pelaksana Proyek)

5)      H. Mukhtar Zarkasyi, SH (Wakil Pelaksana)

6)      Lies Sugondo, SH (Sekretaris)

7)      Drs. Marfuddin Kosasih, SH (Wakil Sekretaris)

8)      Ale Marbun dan Drs. Kodi (Bendahara)

9)      Prof. H. Ibrahim Husein, Prof. MD Kholid dan Wasit Aulawi, MA (Pelaksana bidang Kitab-kitab/Yurisprudensi)

10)  M. Yahya Harahap, SH dan Abdul Gani Abdullah (Pelaksana bidang Wawancara)

11)  H. Amiroeddin Noer dan Drs. Muhaimin Hur, SH (Pelaksana bidang Pengumpul dan Pengolahan Data)[13]

Melaksanakan usaha Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi ini merupakan sebuah tugas pokok dari proyek pembuatan KHI ini, yang menjadi sasarannya ialah kajian mengenai kitab-kitab fikih klask dari berbagai madzhab yang digunakan sebagai landasan para hakim dalam memutuskan perkara, demi tercapainya hukum yang sesuai dengan masyarakat Indonesia menuju Hukum Nasional. Tentunya dalam mencapai itu semua dibutuhkan langkah-langkah yang benar dan kooperatif, berikut cara yang dilakukan dalam proyek ini:

1)      Pengumpulan data

Pada proses ini ditugaskan untuk pengkajian terhadap kitab-kitab hukum atau kitab-kitab fikih yang populer di Indonesia dan yang sering digunakan pertimbangan para hakim dalam memutuskan perkara, minimal 13 Kitab yang telah diwajibkan oleh Departemen Agama.

2)      Wawancara

Wawancara dilakukan dengan para alim ulama 10 wilayah yang sudah ditentukan di seluruh Indonesia.

3)      Lokakarya

Lokakarya disini ialah pertemuan dilakukan terhadap hasil kajian kitab-kitab tersebut dan hasil wawancara.

4)      Studi Banding

Diharuskan adanya studi perbandingan terhadap beberapa negara Islam lainnya, demi tercapainya perbandingan sistem/kaidah-kaidah hukum.[14]

Selain empat cara diatas, berikut adalah tahapan dalam proses penyusuna Kompilasi hukum Islam: Pertama, Pengumpulan bahan baku yang digali melalui sumber-sumber tertulis maupun tidak tertulis. Kedua, Perumusan yang didasarkan pada peranturan perundang-undangan dan sumber-sumber hukum Islam, terutama nas-nash yang berkaitan langsung substansinya dengan hukum yang ada dalam Kompilasi hukum Islam.[15] Semua dilakukan demi terwujudnya hukum Islam yang benar-benar jelas dan maslahat untuk diterapkan di masyarakat Indonesia. Karena hukum Islam yang berkembang di masyarakat Indonesia sangat beragam, mengikuti adat kebiasaan yang sudah berkembang lama dan melekat sejak dahulu kala.

Tahapan pengumpulan bahan baku, semua dilakukan melalui empat jalur.[16] Sebagai berikut:

1.      Jalur kitab-kitab fikih, yaitu penelitian terhadap 38 buah kitab kuning yang dilakukan oleh 7 IAIN di nusantara dalam jangka waktu 3 bulan (7 Maret – 21 Juni 1985), diantaranya:

a)      IAIN Arraniri Banda Aceh, meneliti 6 kitab (Al-Bajuri, Fathul Mu’in, Syarawi ‘alat Tahrier, Mugnil Muhtaj, Nihayah Al-Muhtaj, dan As-Syarqawi)

b)      IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, meneliti 6 kitab (‘ianatut Thalibin, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Bulghat Al-Salik, Syamsuri fil Fara’idh dan Al-Mudawwanah)

c)      IAIN Antasari Banjarmasin, meneliti 6 kitab (Qalyubi/Mahalli, Fathul Wahhab dengan syarahnya, Bidayatul Mujtahid, Al-Umm, Bughyatul Musytarsyidiin, dan Aqiedah wal Syari’ah)

d)     IAIN Sunan Kaligaja Yogyakarta, meneliti 5 kitab (Al-Muhalla, Al-Wajiz, Fathul Qadir, Al-fiqhu’ala Madzahibil Arba’ah, dan Fiqhusunnah)

e)      IAIN Sunan Ampel Surabaya, meneliti 5 kitab (Kasyaf Al-Qina, Majmu’atu Fatawi Ibnu Taimiyah, Qowain Syai’ah lis Sayid Usman bin Yahya, Al-Mughni dan Al-Hidayah Syarah Bidayah Almubtadi)

f)       IAIN Alauddin Ujung Pandang, meneliti 5 kitab (Qowanin Syar’iyah lis Syaid Sudaqah Dahlan, Nawab Al-jalil, Syarah Ibnu Abidin, Al-muwattha dan Hasyiah Syamsudin Moh. Irfat Dasuki)

g)      IAIN Imam Bonjol Pandang, meneliti 5 kitab (Bada’i Al-sanai, Tabyin Al-haqiq, Al-fatawi Al-hindiyah, Fath Al-qadir dan Nihayah)[17]

2.      Jalur Wawancara, yaitu kegiatan wawancara atau tanya-jawab di 10 lokasi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama (PTA Banda Aceh, PTA Padang, PTA Palembang, PTA Mataram, PTA Ujung Pandang, PTA Banjarmasin, PTA Medan, PTA Bandung, PTA Surakarta dan PTA Surabaya) terhadap 186 ulama yang memiliki keahlian khusus dalam bidang hukum Islam yang tersebar di seluruh nusantara, diantaranya dilakukan oleh 20 orang ulama Banda Aceh, 19 orang ulama Medan, 16 orang ulama Bandung, 18 orang ulama Surakarta, 18 orang ulama Surabaya, 15 orang ulama Banjarmasin, 20 orang ulama Ujung Padang, 20 orang ulama Mataram, 20 orang ulama Padang dan 20 orang ulama Palembang.[18]

3.  Jalur Yurisprudensi, yaitu proses penggalian hukum terhadap produk Pengadilan Agama yang terhimpun menjadi 16 buku yang terdiri dari 4 jenis buku, diantaranya:

                                                                                         i.            Himpunan Putusan Peradilan Tinggi Agama (4 buku)

                                                                                       ii.            Himpunan Fatwa Pengadilan (3 buku)

                                                                                     iii.            Himpunan Yurisprudensi Pengadilan Agama (5 buku)

                                                                                     iv.            Laporan Kejadian Hukum (Law Report) (4 buku) dari tahun 1977-1984.

4.      Jalur Studi Banding, yaitu studi perbandingan yang dilakukan oleh tim yang telah ditugaskan, yang terdiri dari beberapa Hakim Pengadilan Agama atau para ahli hukum Islam dan Ulama. Yang dimana studi perbandingan ini dilakukan terhadap hukum famili Law yang berlaku di beberapa negara muslim dunia, seperti Maroko yang mayoritas bermadzhab Malikiyah,  Mesir yang bermadzhab Syafi’iyah dan Hanafiyah, serta Turki yang bermadzhab Hanafiyah.[19]

Proses penyusunan Kompilasi Hukum Islam ini juga ternyata mendapatkan dukungan dan masukan penuh dari organisasi Islam besar, seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang masing-masing mengadakan sebuah kegiatan Bahtsul Masa’il terkait hukum yang dibahas dalam KHI tersebut, yang kemudian hasil dari musyawarah tersebut diolah dan disusun dalam draf  KHI. Selanjutnya draf KHI tersebut dibawa dan dibahas dalam sebuah Lokakarya Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 2-6 Februari 1988 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Kegiatan tersebut dihadiri oleh 124 peserta dari seluruh Nusantara, yang terdiri dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi, para Ketua PTA seluruh Indonesia, para alim Ulama,  para Rektor IAIN, perwakilan dari beberapa Dekan Fakultas Syariah IAIN, sejumlah perwakilan ormas Islam, sejumlah cendikiawan muslim Indonesia, serta perwakilan dari beberapa organisasi wanita.[20]

Pembahasan terkait rancangan penyusunan Kompilasi Hukum Islam dalam Lokakarya tersebut dibagi kedalam dua sidang, yaitu Sidang Komisi dan Sidang Pleno. Sidang Komisi terdiri dari:

a.       Hukum Perkawinan, yang dipimpin oleh M. Yahya Harahap, SH (Ketua), Drs. Marfuddin Kosasih, SH (Sekretaris), KH. Abdul Halim Muhammad, SH (Narasumber), Drs. Mukhtar Effendi, SH dan H. Farchan Hisjam (Notulen), serta 42 anggota.

b.      Hukum Waris, yang dipimpin oleh H.A. Wasid Aulawi, MA (Ketua), H. Zainal Abidin Abubakar, MA (Sekretaris), KH. Ahmad Azhar Basjir, MA (Narasumber), Drs. Nabhan Maspoetra dan Drs. H. Zufran Sabrie (Notulen), serta 42 anggota.

c.       Hukum Wakaf, yang dipimpin oleh H. Masrani Basran, SH (Ketua), H.A Gani Abdullah, SH (Sekretaris), Prof. Dr. H. Rahmat Jatmika (Narasumber), Drs. Wahyu Widana dan Drs. Farid (Notulen), serta 29 anggota.

Sidang Pleno dihadiri oleh seluruh peserta sidang, yang didalamnya mendiskusikan, melakukan perbaikan dan mengesahkan hasil rumusan Lokakarya. Hasil Akhir dari sidang Pleno ialah berupa pengesahan rumusan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari 3 buku, yakni: buku I tentang Perkawinan, buku II tentang Kewarisan dan buku III tentang Perwakafan.[21]

Sebuah permusyawarahan yang dilakukan dalam lingkup Lokakarya, sangat amat dirasa penting untuk dilaksanakan dalam rangka penetapan KHI yang betul-betul tidak menyalahi hukum Islam yang sebenarnya dan maslahat untuk digunakan di Indonesia. Karena, Kompilasi Hukum Islam merupakat bagian dari hasil konsensus (Ijma’) yang dirumuskan dan disepakati oleh para ahli hukum Islam. Dibuktikan dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan KHI, bahwa Kompilasi Hukum Islam ini telah diterima dengan baik dikalangan para Ulama Indonesia.[22] Setelah melalui beberapa proses tersebut, akhirnya Presiden Soeharto menandatangani Intruksi Presiden (Inpress) RI No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam pada tanggal 10 Juni 1991, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991. Dengan adanya kedua regulasi diatas Kompilasi Hukum Islam disebarluaskan kepada semua Ketua Pengadilan Agama dan Ketua Pengadilan Tingga Agama melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam No. 3649/E.V/HK.003/AZ/91 pada tanggal 25 Juli 1991. Dengan demikian, secara sah Kompilasi Hukum Islam memiliki tempat dalam sistem hukum di Indonesia.[23]

Abdul Gani Abdullah menyebutkan dalam bukunya Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, bahwa inti dikeluarkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan KHI, ada beberapa hal yang perlu dicermati bersama. Pertama, Penyebarluasan KHI ini merupakan kewajiban masyarakat muslim Indonesia dalam rangka memfungsikan hukum Islam yang berada di masyarakat yang bersifat normatif (tidak tertulis) menjadi hukum yang tertulis dan berbentuk peraturan yang memiliki kekuatan hukum; Kedua, rumusan hukum Islam dalam KHI ini sebagai upaya menghapuskan standar ganda dari keberlakuan hukum Islam yang ditunjuk pada pasal 2 ayat (1) dan (2) UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta dari aturan formal dalam UU no. 7 Tahun 1989 tentang Tata Cara Perceraian. Sehingga Kompilasi Hukum Islam dianggap hukum yang telah dirumuskan dan diberlakukan secara sempurna; Ketiga, Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 ini menunjuk secara tegas wilayah keberlakuan KHI pada masyarakan yang membutuhkannya dan Instansi, yang dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.



[1] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), edisi pertama, Cet. Ke-5, hal. 10.

[2] M. Thahir Azhari, KHI Sebagai Alternatif, (Jakarta: Al-Hikmah, 1993), hal. 135.

[3] Amir Nuruddin dan Azhar Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Perdana Media, 2004), hal. 33.

[4] H. M. Tahir Azhari, Loc cit

[5] Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompiasi Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hal. 61-62.

[6] A. Hamid S. Attamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. 1, hal. 152.

[7] Saeful Milah dan Asep Saefudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Amzah, 2019), hal. 67.

[8] Saeful Milah dan Asep Saefudin Jahar, Op.Cit, hal. 68.

[9] Tim Penyusun Ditjen. Bimas Islam dan Penyelenggara Haji Depag RI, Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 2004), hal. 599-600.

[10] Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. 1, hal. 2.

[11] Abdul Muin dan Ahmad Khotibul Umam , “Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Positif, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 1 (1), (Juni 2016), hal. 65-66.

[12] Abdurrahman, Op.Cit, hal. 34.

[13] Ahmad Zahari, Kapita Selekta Hukum Islam, (Pontianak: FH Untan Press, 2009), Cet. 1, hal. 7.

[14] Abdurrahman, Op.Cit, hal. 35-38.

[15] Cik Hasan Bisri, Op.Cit, hal. 8.

[16] Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. 1, hal. 59-60.

[17] Ahmad Zahari, Op.Cit, hal. 7-8.

[18] Ibid, hal. 8-13.

[19] Saeful Milah dan Asep Saefudin Jahar, Op.Cit, hal. 71-72.

[20] Abdurrahman, Op.Cit, hal. 45-47.                                                                                    

[21] Ahmad Zahari, Op.Cit, hal. 16-19.

[22] Abdurrahman, Op.Cit, hal. 46.

[23] Ibid, hal. 50.

Komentar